I.
Pembunuh
bayaran, assassin, moordenar, sicarius..
Tak pernah
terpikir olehku, kata itulah yang aka nada dalam hidupku..
Dan dengan
sadar aku jalani..
***
Jakarta,
03 Mei 1985
Hari itu
Jumat, seorang wanita menyabung nyawa untuk dapat melahirkan seorang anak. Aku.
Bertepatan dengan megahnya suara Adzan Subuh, aku menghirup udara untuk pertama
kalinya. Berkalang darah yang masih basah, aku menangis didekapan ibu ku.
Lantang bersuara, tanpa tahu, nasib apa yang menungguku. Dan Adzan itu kembali
terdengar, bukan lagi dari corong Masjid, tapi dari mulut seorang lelaki yang
bergelar hebat, Ayahku.
***
Deli
Serdang, 18 Agustus 1993
Hari ini
aku bahagia, amat sangat bahagia. Mengapa? Hari ini si Anak ke 3 dari 3
bersaudara ini akan masuk sekolah. Ya, S-E-K-O-L-A-H. Dan lembaga yang
beruntung mendapatkan si bujang ini bukanlah Sekolah Dasar Negeri, melainkan
lembaga yang berdasarkan Agama Islam terkemuka di Sumatera Utara, Al Jami’atul
Washliyah, atau biasa disebut Al Washliyah. Ini bukan kemauanku, melainkan
kemauan dari Nenek Angkat ku agar aku bisa menjadi anak lelaki saleh yang
beriman kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Kalian pasti bertanya, Nenek
Angkat? Ya Nenek angkat. Sejak umurku 2 Tahun, aku sudah malang melintang bersama
ibuku. Apa sebab? Sebabnya karena sejak beruur 1 tahun, lelaki yang
mengumandangkan Adzan kepadaku telah bercerai dengan ibu. Dan ibuku bukanlah
seorang wanita yang mudah bermuram durja hanya karena ia berpisah dengan Sang
Suami. Sejak bercerai, ibu memutuskan untuk berkelana dan mencari nafkah
untukku dank e 2 kakak perempuanku. Ibu berprinsip, anak harus belajar dewasa
dan tahan banting dengan hidup jauh dari kasih sayang orang tua. Ibu menitipkan
kakak – kakaku kepada saudara, teman atau sahabat lama yang memang tidak punya
anak. Karena aku masih terlalu kecil, maka aku masih harus dalam pengawasan
ibu. Dan ikutlah aku berkelana bersamanya. Aku tidak pernah tahu apa pekerjaan
ibuku, yang aku tahu, ibu meninggalkanku pada malam hari dan kembali pada pagi
hari. Dan saat itu aku tidak mau tahu. Kami tidak pernah lama menetap pada satu
kota, sekejap di Batam, sejurus kemudian di Pekan baru, lalu beralih ke Balik
Papan.
Genap usiaku
4 tahun, ibu merasa aku sudah harus bisa belajar mandiri. Dan kembalilah aku ke
kota Medan. Tepatnya di komplek pasar Petisah. Disana aku dititipkan pada
sepasang Suami Istri yang bernama Rina dan Fendi. Diajaknya aku makan, makan
enak sekali. Ibuku hanya tersenyum dan memilihkan menu kesukaan ku, Ayam goring.
Kenyang perutku, kantuk yang dating kemudian. Tanpa aku sadari sejak kapan,
akupun terlelap.
Saat aku
terjaga, ibu ku sudah tidak ada. Tersadar aku sekarang, aku harus menyambut 2
figur ini menjadi mamak dan bapakku yang baru. Mamak Rina dan Bapak Fendi
adalah kawan dan sahabat lama ibu ku. Mereka berdua sudah lama menikah dan
belum mempunyai anak. Aku tidak tahu pasti apa pekerjaan ke 2nya, yang aku tahu
aku sering diajak berada didalam pasar petisah dan berkumpul dengan kawan-kawan
dari mamak dan bapak dalam suatu pos atau gardu yang berlambangkan dan
bertuliskan FKPPI. Yang paling melekat dalam ingatanku adalah Mamak dan Bapakku
ini sangat sayang kepadaku. Bahkan memanjakan aku lebih dari ibuku memanjakan
aku.
Saat umurku
6 tahun, atau setelah 2 tahun aku bersama Mamak dan Bapakku tersayang ini ibu
menjemputku. Datang dengan membawakanku sebuah senapan mainan yang gagahnya
bukan main. Aku senang, ibuku dating membawa mainan. Lalu diajaknya lagi aku
makan, sama seperti dulu. Tapi kali ini aku bertekad aku tidak akan tertidur.
Aku tidak ingin ditinggalkan lagi walaupun Mamak dan bapaku sangan menyayangi
aku. Aku tetap mau ibuku. Dan.. Aku terlelap lagi.
***
0 comments:
Post a Comment